Minggu, 25 Mei 2008

Berjuang untuk Perubahan Menuju NTT MAS (Makmur-Adil-Sejahtera)

Oleh
PIETER SAMBUT
Director Center for Community Development on Education and Economy (CCD)

Meskipun dari tahun ke tahun pembangunan secara nyata telah dilakukan, tetapi sentuhan pembangunan tersebut belum begitu banyak mengubah nasib rakyat di Nusa Tenggara Timur, terutama di daerah pedesaan. Mereka masih tetap bergelut dengan ketertinggalan dan kemiskinannya. Beban hidup yang ditanggung rakyat akibat krisis dan salah urus pemerintah kian hari kian berat.

62 tahun merdeka sepertinya hanya sebuah kata yang manis untuk diucapkan. Fakta begitu telanjang memotret ketertinggalan dan kemiskinan di segala aspek kehidupan masyarakat NTT.

Hal ini ditunjang oleh beberapa fakta, di antaranya:

Pertama, kemiskinan dan keter-tinggalan. Dari data yang dikeluarkan oleh Kementerian Daerah Tertinggal belum lama ini menunjukkan, bahwa seluruh kabupaten/ kota di NTT dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Sedikitnya 2,8 juta (66,6%) dari 4.355.000 penduduk NTT adalah orang miskin.

Laporan Kementerian Daerah Tertinggal itu diperkuat oleh data dari Bappeda NTT yang melaporkan, bahwa sekitar 1.886 (68,88%) dari 2.742 desa/kelurahan di NTT dikategorikan sebagai desa/kelurahan tertinggal. Sedangkan rumah tangga miskin sekitar 623.317 (65,42%) dari 952.508 rumah tangga di NTT.

Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan belum membuahkan hasil. Bahkan data terakhir yang dihimpun tim Milenium Development Goals (MDGs) menyebutkan, bahwa NTT adalah salah satu Provinsi termiskin di Indonesia.

Populasi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional mencapai 30%, lebih tinggi daripada nilai rata-rata nasional sebesar 18%. Bahkan sejak tahun 1999, peringkat Provinsi NTT turun dari 21 ke 24 dari 30 provinsi saat itu dalam Indeks Kemiskinan Manusia dan turun dari 24 ke 28 untuk Indeks Pembangunan Manusia.

Tingginya angka kemiskinan di NTT mencirikan betapa beratnya beban pemerintah dan masyarakat dalam upaya mengatasi kemiskinan penduduk di wilayah ini. Artinya, masalah kemiskinan hingga kini masih merupakan masalah yang belum diatasi secara tuntas.

Selain kemiskinan, masalah pokok lainnya adalah ketertinggalan. Di bidang ekonomi, pertumbuhan sektor-sektor produktif sangat lam-ban, struktur ekonomi masih pincang (kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB masih tinggi. Di bidang sarana dan prasarana juga demikian. Transportasi darat, laut dan udara masih sangat terbatas dibanding kondisi NTT sebagai wilayah kepulauan. Akses terhadap air bersih dan sanitasi juga masih memprihatinkan.

Kedua, mutu dan fasilitas pendidikan masih rendah dan tidak merata. Bidang pendidikan yang seharusnya menjadi basis perkembangan masyarakat NTT, justru mengalami penurunan kualitas secara drastis.

Proses ini kelihatan sudah berlangsung sejak peralihan peran misi gereja Katolik dan Zending (Kristen Protestan) dalam bidang pendidikan, yang secara bertahap dikurangi dan kemudian diganti dengan sistem pendidikan dan kurikulum nasional.

Sistem pendidikan di NTT kelihatannya tidak memberikan jawaban terhadap kebutuhan masyarakat, alam, tantangan sosial, ekonomi, budaya yang ada di NTT. Dalam hal ini sistem pendidikan misi gereja Katolik dan Zending yang kuat mengakar sampai tahun 1970-an masih boleh dibanggakan, kendati sering dikritik orang, karena dianggap lebih bertujuan melayani kepentingan misi daripada pengembangan SDM orang NTT.

Ketiga, derajat kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan masih rendah. Dari data yang ada menunjukkan, bahwa status balita kurang gizi sebesar 32,6%, angka kematian bayi 53 per 1.000 kelahiran (nasional: 52 per 1.000 kelahiran), angka kematian ibu 554 per 100.000 kelahiran hidup (nasional: 334/1.000 kelahiran), rata-rata hari sakit penduduk NTT 5.35 hari. Sementara usia harapan hidup orang NTT 60 tahun untuk pria dan 62 tahun untuk wanita (nasional: 61 untuk pria dan 64 untuk wanita).

Sarana kesehatan dan tenaga kesehatan juga belum merata dan memadai.Ada beberapa kabupaten yang sampai saat ini belum memiliki Rumah Sakit yang cukup memadai un-tuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima kepada masyarakat.

Keempat, tingkat pengangguran tinggi. Data 2007 memperlihatkan, bahwa dari 2.100.000 angkatan kerja yang terdata sebanyak 118.082 adalah penganggur. Dari jumlah tersebut, sebanyak 37.760 (32%) berijasah sarana (S-1) dan 11% di antaranya berjasah sarjana muda.

Kelima, kemajemukan (heterogenitas) masih menjadi beban. Masyarakat NTT terdiri dari 48 suku dengan bahasa dan budaya yang saling berbeda. Keanekaragaman masyarakat semakin nyata ketika para pendatang dari berbagai suku di tanah air berdatangan ke wilayah ini untuk mengadu nasib.

Secara hipotetik, jika tidak terjadi harmoni sosial, maka peluang terjadinya konflik horisontal cukup besar. Hal itu terlihat dari sikap dan reaksi emosional masyarakat dalam menanggapi berbagai masalah yang menyangkut kepentingan mendasar seperti: sengketa tanah ulayat, masalah hukum dan keadilan, kepentingan kelompok, ketersinggungan golongan dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Keenam, kondisi geografis yang tidak ramah. NTT adalah pro pinsi kepulauan. Sebagian besar wilayahnya terdiri dari gunung, bukit dan padang sabana. Wilayah ini tergolong rawan bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, kekeringan dan hama. Transportasi antar pulau belum memadai. Demikian pula dengan transportasi darat dan udara. Kondisi ini merupakan tantangan untuk mempercepat proses pembangunan dan pengen-tasan kemiskinan di wilayah NTT.

Ketujuh, kinerja pemerintah daerah belum memadai dan pelayanan publik masih menjadi keluhan.

Selain tantangantantangan internal yang relatif konstan sebagaimana disebutkan di atas, NTT juga menghadapi tantangan eksternal. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia, ter masuk NTT menghadapi fenomena perubahan pada aras makro-global dan makro-regional yang harus disikapi secara arif dan rasional.

Pada aras makro-global, revolusi teknologi informasi telah melahirkan globalisasi. Pada aras makro-global, revolusi teknologi informasi telah melahirkan globalisasi.

Globalisasi mencakup beberapa aspek. Salah satu aspek yang menonjol adalah menipisnya batas antar negara (borderless state). Akibatnya, kegiatan ekonomi, manufakturing, perdagangan, keuangan dan jasa tidak lagi mengenal batas geografis antar negara.

Di bidang ekonomi, misalnya globalisasi ekonomi telah melahirkan era perdagangan bebas yang ditandai dengan berlakunya Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 2003, Asean Free Labour Area (AFLA) tahun 2005 dan Asia Pasific Ekonomic Cooporation (APEC) tahun 2010. Pada era pasar bebas ini per-saingan mutu produk, mutu SDM dan mutu pelayanan publik tak terhindarkan.

Di bidang sosial budaya, masyarakat NTT juga menghadapi tantangan yang tidak ringan, terutama yang beraitan dengan penyakit sosial yang menunggangi globalisasi seperti HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba.

Bukan rahasia lagi, tak satupun wilayah di republik ini yang tidak tersusup HIV/AIDS dan jaringan narkoba internasional. Jika tidak diantisipasi sejak dini, bukan tidak mungkin kita kehilangan gerasi usia emas yang diandalkan.

Untuk mengantisipasi globalisasi dan efek sampingannya, Pemerintah Daerah dan masyarakat NTT harus membangun kemampuan ofensif (berdaya saing dalam bisnis, pendidikan, sosial budaya dan sebagainya), agar mampu mengembangkan kemampuan defensif (daya adaptasi) terhadap perkembangan zaman, sehingga kita tidak tenggelam bersamaan dengan dampak negatif yang muncul dari proses globalisasi tersebut.

Sementara dalam perspektif makro-regional, berakhirnya kerja sama antara RI-IMF berdampak pada semakin mengecilnya kucuran dana APBN ke daerah, termasuk ke NTT.

Padahal ketergantungan NTT pada bantuan Pemerintah Pusat sangat tinggi, yaitu sekitar 87,86% dari total anggaran pembangunan. Kondisi ini tentu sangat riskan. Karena itu Pemerintah Daerah NTT harus melakukan berbagai terobosan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya lokal dalam rangka meningkatkan pendapatkan asli daerah (PAD) dan juga pendapatan perkapita masyarakat.

Posisi geopolitis dan geostrategis NTT pada simpang selatan menempatkan wilayah ini harus berhadap-hadapan secara langsung dengan negara tetangga, Timor Leste dan Australia. Letak NTT yang sangat strategis ini membawa implikasi baik secara politik, yaitu menjaga kedaulatan Negara Kesatuan RI maupun secara ekonomi, yaitu bagaimana memanfaatkan dan mengelola potensi sumber daya alam di wilayah perbatasan demi kesejahteraan rakyat.

Artinya, bagaimana merubah problematika wilayah perbatasan dari spektrum konflik menjadi spektrum pertumbuhan yang menguntungkan masyarakat NTT.

Sejauh ini pemerintah pusat hanya memperhatikan beranda depan Indonesia, yaitu Kepulauan Riau (Batam). Sementara gerbang selatan, yakni NTT dibiarkan merana. Ke depan, pemerintah daerah NTT harus menjadikan posisi strategis ini sebagai bargaining point untuk meningkatkan pembangunan dan pengentasan kemiskinan di wilayah perbatasan.

Kondisi obyektif NTT yang masih terbelenggu kemiskinan dan kertertinggalan serta dinamika perubahan pada level makro-global serta makro-regional menggugah nurani Drs. Gaspar P. Ehok, MRP dan Julius Bobo, SE, MM (GAUL) membawa NTT dari lingkaran setan kemiskinan dimensional dan ketertingggalan serta memutus mata rantai KKN yang telah menyengsarakan rakyat.

Keduanya berobsesi, bagaimana mengubah berbagai tantangan perubahan itu menjadi peluang untuk mewujudkan masyarakat NTT yang makmur, adil dan sejahtera? Bagaimana mengoptimalkan seluruh potensi sosial-budaya masyarakat yang heterogen menjadi energi kebersamaan untuk mempercepat proses pembangunanan dan pengentasan kemiskinan?

Strategi dan Program Strategis

Menyikapi kondisi obyektif NTT yang memprihatinkan dan mencermati fenomena perubahan yang terjadi, Gaspar dan Julius bertekad untuk melakukan perubahan total dengan melakukan reposisi secara tepat berbagai program pembangunan, agar benar-benar menyentuh kebutuhan dasar (felt need) masyarakat.

Untuk mewujudkan obsesi tersebut mutlak diperlukan strategi mendasar dan kebijakan yang tepat guna, tepat cara dan tepat sasaran. Strategi tersebut merupakan kompas atau navigasi yang menuntun seluruh elemen masyakat untuk melakukan perubahan yang lebih akseleratif dan pertumbuhan sosial-ekonomi daerah yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) NTT serta kondisi obyetif wilayah ini, maka strategi mendasar pembangunan NTT ke depan menurut Gaspar dan Julius adalah pembangunan berbasis budaya lokal dan pemberdayaan potensi seluruh rakyat.

Semua ini didasarkan pada sumber daya dan potensi daerah yang dioptimalkan. Yang perlu ditegakkan sebagai kekuatan pendorong terjadinya perubahan adalah menegakkan sistem nilai bersama, yaitu nilai keteladanan, nilai kerja keras, nilai kedisiplinan, nilai konsistensi, nilai kejujuran.

Berangkat dari strategi pembangunan yang memberikan aksentuasi pembangunan yang berbasis wawasan sosial budaya dan pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan, maka arah pembangunan daerah NTT selama periode 2008-2013 adalah: ”Terciptanya kemampuan masyarakat NTT sebagai landasan yang kuat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih makmur, adil dan sejahtera.”

Selanjutnya strategi dasar pembangunan NTT 2008-2013 diterjemahkan ke dalam ”Sapta Program Menuju NTT MAS” dengan prioritas pada: (1) Penanggulangan Kemiskinan, (2) Pengembangan Kualitas SDM, (3) Penegakan Hukum; (4) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, (5) Pembangunan Infrastruktur, (6) Peningkatan Mutu Pelayanan Publik Pemerintahan dan (7) Pelestarian Lingkungan.

Sapta program strategis pembangunan di atas hanya dapat berjalan secara efektif dan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika didukung oleh faktor-faktor dinamis pendukungnya, yaitu: (1) Good and Clean Governance, (2) Aparatur Yang Berkualitas, (3) Kelembagaan Yang Efektif, (4) Demokrasi Akses Informasi, (5) Regulasi Kebijakan Yang Supportif, (6) Modal Sosial dan (7) Keamanan dan Stabilitas Daerah.

Dengan kebijakan dan program strategis yang telah dirancang tersebut, Gaspar dan Julius yakin mampu membangkitkan gairah baru di kalangan birokrat, swasta dan masyarakat luas agar bahu membahu dalam menanggulangi kemiskinan, memerangi KKN dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

(Pieter S/disarikan dari buku Berjuang Untuk Perubahan Menuju NTT Mas: Menata Wajah NTT Baru yang Makmur, Adil dan Sejahtera)

Tidak ada komentar:

Kompas.Com - Nasional